Saya termasuk orang yang buta soal binatang. Bukan karena saya tidak suka binatang, tapi banyaknya variasi dari tiap jenis binatang itu yang kadang membuat saya bingung. Sampai sekarang saya tidak bisa membedakan mana ular sanca mana ular piton, mana ayam kampung mana ayam bangkok, mana kucing persia mana kucing anggora. Apalagi soal burung, cuma satu burung yang saya sudah hapal betul karena tiap hari ketemu. Iya, gak usah dilanjutin...
Dari kecil, saya memang jarang memelihara binatang. Bahkan kalau mau, saya masih bisa menghitung berapa jumlah binatang yang pernah saya pelihara. Ikan cupang, hamster, ayam, merpati, kucing dan anjing. Dua yang saya sebutkan terakhir itu adalah jenis hewan yang spesial bagi saya. Ya, saya sangat menyukai kucing dan anjing. Bukan hanya karena kotorannya sangat efektif buat nimpuk mantan yang lagi jalan sama pacar barunya, tapi lebih dari itu, saya melihat kucing dan anjing adalah hewan yang juga "memiliki perasaan" layaknya manusia.
Waktu masih SD dulu, di sekitaran rumah banyak kucing. Ada seekor kucing langganan (lu kira tukang sate), yang sering nongkrong di tempat saya. Karena saya sering sendirian dirumah, kucing itu sering nemenin saya pas lagi nonton tipi atau main PS. Saya sering memperhatikan tingkahlakunya. Tiap saya makan, saya kasih jatah. Tiap saya berak, dia gak gangguin. Tiap dia berak, saya gangguin. Dan ini faedahnya apa bahas beginian?
Tetpi karena sering memperhatikan, saya jadi mulai memahami karakter kucing. Bagaimana cara dia "nyogok" kita kalau ingin sesuatu (yang pasti makanan, bukan jodoh), cara dia ngajak main , cara dia ngambek kalau disakitin secara fisik, cara dia marah pas lagi ngelindungin anaknya atau buntutnya keinjek. Bahkan buang air pun dia nggak sembarangan, dia tau tempatnya. Dan kucing, ketika ia sudah bersahabat dengan manusia, gak bakal pernah nyolong makanan! Kecuali kalau lagi laper.
Nah, sama halnya dengan anjing. Anjing adalah hewan yang paling setia. Kita tentu sudah tidak asing dengan kisah-kisah kesetiaan seekor anjing pada tuannya. Katakanlah kisah yang paling melegenda, sianjing Hachiko. Setiap hari, dia mengantarkan tuannya berangkat kerja sampai ke stasiun. Dengan setia, dia menunggu di stasiun sampai tuannya pulang . Sampai suatu saat, tuannya tidak pulang. Hachiko tetap menunggu tuannya itu. Dia terus datang ke stasiun itu, setiap hari, menunggu sang tuan yang ternyata telah meninggal di tempat kerja dan tidak akan pernah pulang lagi. Namun Hachiko tidak mengerti itu. Yang ia tahu hanyalah kesetiaan. Kesetiaan yang benar-benar tulus tanpa mengharap pamrih. Kesetiaan yang membuat dia tetap datang setiap hari ke stasiun menunggu tuannya sampai akhir hayatnya.
Bahkan untuk menghormati kesetiaan seekor anjing bernama Hachiko itu, masyarakat Jepang sampai mengabadikannya dengan membuat patung Hachiko di depan stasiun itu. Saya yakin diluar sana juga sangat banyak Hachiko-Hachiko lain yang tidak kalah setia. Anjing yang sampai menunggu di makam tuannya yang sudah meninggal, anjing yang mati karena melindungi tuannya dari serangan ular, dan sebagainya.
Berbanding terbalik dengan makhluk yang MERASA paling tinggi derajatnya di alam semesta. Ya, manusia! Di jaman gelap ini, kita sudah tidak jarang mendengar berita yang menyayat nurani dan melecehkan martabat manusia sebagai makhluk mulia yang memiliki akal. Seorang ibu membuang anak yang dilahirkannya sendiri? Seorang bejat yang memperkosa anak dibawah umur? Seorang anak yang membunuh ayahnya sendiri? Atau seorang psikopat yang memotong-motong tubuh manusia bahkan memakannya?
Oke, mungkin kita tidak usah sampai merujuk ke perilaku amoral dan barbar itu. Kriminalitas yang lebih halus, korupsi misalnya. Mungkin kelihatannya sepele karena jenis kriminal ini tidak sampai menyebabkan manusia memuntahkan darah sampai mati. Tapi secara tidak langsung, mereka juga ikut bertanggungjawab terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi di tingkat grassroot. Sebab tingginya angka kriminalitas berbandinglurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Para pejabat korup, mereka memang tidak membunuh manusia dengan pisau, tapi dengan mengambil hak-hak masyarakatnya.
Contoh lain, kebiasaan turun temurun masyarakat kita untuk "saling bacok" antar kelompok. Atas nama harga diri kelompok, tangannya sangat ringan merenggut nyawa saudaranya sendiri. Entah kelompok pelajar sekolah satu dengan sekolah lain, kampung satu dengan kampung lain, supporter satu dengan supporter lain, bahkan antar institusi keamanan. Bagian lucunya yang sebenernya gak lucu, saling bunuh itu kadang hanya ditengarai hal-hal yang terlampau sepele. Adu senggol saat nonton dangdut, saling provokasi antar supporter bola, atau saling ngatain antar sekolah atau kampus. Hal-hal yang gak lebih penting dari pertikaian anak kecil yang saling ngata-ngatain nama bapak.
Dan yang lebih miris lagi adalah ketika sedang gontok-gontokan begitu, apa kata umpatan yang paling familiar mereka gunakan? Ya, anjing! Anjing menjadi bahasa umpatan terpopuler untuk menghina lawan. Padahal, anjing adalah hewan yang baik dan setia. Anjing tidak pernah sekonyong-konyong menyerang atau bahkan sampai membunuh kepada sesamanya. Anjing juga tidak berkepentingan dengan apa latarbelakang tuannya, warna kulitnya, sukunya. Selama engkau baik, maka anjing akan baik padamu. Itu hukum dasar dari alam semesta ini.
Kalau kita bandingkan perilaku kebanyakan manusia dengan anjing, lucu kalau hari ini kita menggunakan "anjing" sebagai bahasa umpatan. Karena terkadang, anjing masih lebih jauh bermartabat daripada manusia.
Dasar, manusia luh!
Tulisan tanggal 3 April 2017.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak...