Setiap hari saya meluangkan waktu untuk memantau perkembangan pesta demokrasi yang sedang berlangsung di negeri tercinta ini. Saya menyempatkan untuk melihat berita di berbagai media digital, forum, social media yang sudah sangat terbuka dan bahkan terkadang malah kebablasan. Terkadang saya merasa seperti "dipaksa" untuk mengikuti perkembangan pilres karena dimanapun saya berada, kemanapun saya pergi, situs apapun yang saya buka, bahkan setiap hembusan nafas yang saya keluarkan selalu saja disodorkan dengan masalah copras capres itu
Sebenarnya memang hal ini tidak terlalu mengganggu kalau saya biarkan saja lewat, "gak usah dipikirin" benak saya. Namun tetap saja setiap
baris judul berita, setiap kicauan dari pengguna twitter, setiap posting para penghuni forum selalu sukses mencuri perhatian saya. Alhasil terkadang fokus saya terhadap pekerjaan menjadi teralihkan dan malah menurunkan produktivitas. Namun yang lebih bahaya lagi, kegiatan pantau-memantau mantan juga akan terhambat (okesip ini cuma becanda) :D
Mungkin bahasa yang saya katakan "agak dipaksa" untuk akhirnya ikut-ikutan mikirin pilpres tidaklah berlebihan karena seperti yang sudah saya katakan tadi, setiap kali saya membuka internet, berbagai konten entah itu berita, kampanye, kicauan di linimasa, bahkan sampai black campaign yang terang-terangan, telah menjadi penyakit menular masyarakat indonesia mulai dari kalangan elit hingga grass root. Bahkan di facebook saja, hampir semua isi status atau konten yang di share adalah berita tentang pilpres yang diiringi dengan perang argumen (baca: debat kusir) para pendukung fanatik dari kedua pasangan capres dan cawapres.
Memang ada sesuatu yang spesial pada pemilu di tahun ini. Kita dapat melihat bahwa animo masyarakat terhadap politik sangat jauh lebih besar daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Saya agak sedikit penasaran dan tergelitik untuk menelaah apa sebab masyarakat kita menjadi begitu antusias dengan pesta demokrasi lima tahunan ini.
Masyarakat Yang Sudah "Melek" Internet
Sebagai orang yang tidak bisa hidup tanpa internet, saya paham betul perkembangan teknologi merupakan salah satu penyebab pesta demokrasi kali ini terasa lebih hidup. Dibandingkan lima tahun lalu saja, perkembangan masyarakat Indonesia yang melek internet saat ini sudah sangat jauh meningkat.
Di Tahun 2009 walaupun facebook sudah agak ramai, penggunaannya masih sangat terbatas di kalangan kaum muda atau orang berpendidikan saja. Namun kini, hampir setiap orang punya yang namanya akun facebook tidak pandang strata ataupun usia. Mulai dari kalangan pejabat hingga elit (ekonomi sulit), tua-muda, kaya-miskin, semua doyan facebook-an atau twitter-an.
Kalau anda mau (dan kalau anda orang yang nggak punya kerjaan), cobalah anda tanya orang-orang yang anda temui di jalan, di angkot, di manapun itu, apakah mereka memiliki akun facebook? Hampir pasti, iya! Kecuali anda tinggal di puncak gunung merapi atau di pedalaman suku baduy yang masih konsist dengan ke-alamiahan-nya.
Inilah salah satu faktor kenapa pada pemilu kali ini antusiasme masyarakat begitu tinggi untuk ikut-ikutan "bikin rame" pilpres kali ini. Meningkatknya jumlah pengguna internet di indonesia membuat penyebaran informasi semakin cepat dan terbuka. Lima tahun lalu, orang harus menunggu koran atau program berita di tv ditayangkan untuk melihat perkembangan pilpres. Kini, berbekal koneksi internet anda bisa mencari informasi apapun tentang pilpres dimanapun dan kapapun anda mau.
Peran internet dalam kemeriahan pilpres kali ini bagai pisau bermata dua. Di satu sisi masyarakat sangat terbantu dengan adanya internet karena mereka bisa mendapatkan informasi apapun selengkap-lengkapnya. Namun disisi lain, justru ini adalah malapetaka. Kenapa? Masyarakat yang masih awam sangat rawan sekali terpengaruh oleh pencitraan, berita hoax, isu-isu yang bahkan sampai membawa unsur SARA yang banyak disebar oleh kalangan berkepentingan yang punya perilaku amoral.
Kita luruskan dulu bahwa yang saya tuding melakukan pencitraan disini tidak dimaksudkan hanya kepada salah satu pasangan, namun KEDUANYA pasti melakukan pencitraan. Mari kita biasakan diri untuk tidak menjadi orang munafik. Capres dan cawapres bukanlah nabi atau sesuatu yang pantas dipuja secara berlebihan (baca= dituhankan).
Pencitraan menjadi hal yang lumrah dan wajar dalam sebuah sistem yang bernama demokrasi dimana suara seorang pendeta dan pelacur dianggap sama. Suara orang pintar dan orang keblinger dianggap sama. Suara seorang anak yang berpendidikan dan ayahnya yang hanya seorang buruh kasar (yang mikirin perut aja udah susah apalagi mikirin negara) tapi dianggap sama.
(Lebih jauh tentang pandangan saya akan demokrasi yang saat ini diterapkan oleh Indonesia dan kaitannya dengan "pelanggaran sila ke-4 Pancasila" mungkin akan saya tulis di lain kesempatan.)
Kembali ke masalah pencitraan. Pencitraan adalah pembohongan publik yang akan berdampak pada kemana suara rakyat akan berlabuh. Namun ada hal yang lebih mengkhawatirkan dibanding pencitraan, fanatisme buta! Fanatisme buta atau pemujaan yang berlebihan terhadap sesuatu inilah yang sangat membahayakan. Orang yang sudah tertutup mata, telinga, dan pikirannya akan menghalalkan segala cara demi menguntungkan diri sendiri dan manusia yang "dituhankan"-nya (dalam hal ini adalah capres dan cawapres yang didukungnya).
Dua Kubu Yang Bertarung "Membelah" Bangsa Indonesia
Kembali ke masalah femomena ramainya pilpres 2014. Selain perkembangan teknologi yang begitu pesat, faktor lain adalah jumlah kandidat capres dan cawapres yang bertarung. Baru pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, kandidat calon presiden dan calon wakil presiden HANYA DUA PASANGAN!
Karena pada pilpres kali ini kandidat yang bertarung hanya ada dua pasangan, maka bahaya yang mengancam sangat besar. Kenapa? Indonesia terpecah, masyarakat terbelah di berbagai kalangan dari kalangan elit hingga ke akar rumput. Berbagai orsospol, lembaga, komunitas, semua terbelah menjadi dua bagian.
Beda cerita ketika di tahun 2009 misalnya dimana saat itu terdapat 3 pasangan capres-cawapres. Saat itu, ada 3 kubu yang berebut kepentingan. Namun kali ini, hanya ada 2 kandidat! Inilah yang kemudian membuat masyarakat yang tadinya cuek, lama-lama menjadi ikut-ikutan mendukung salah satu kandidat. Banyak alasannya. Ada yang mendukung si anu karena tidak ingin si anu yang menjadi presiden, ada yang ikut-ikutan trend ataupun temannya (khawatir akan tidak diterima oleh kelompoknya -sifat sosial manusia), ada yang karena terpaksa atau dipaksa oleh kelompok/partai/golongannya, dan berbagai macam alasan lainnya.
Pada masa kampanye saja kita bisa melihat keriuhan yang terjadi. Saling serang, saling hujat, saling fitnah, sudah sedemikian vulgar dan kebablasan. Bahkan pada saat telah memasuki masa tenang saja hal demikian masih terus terjadi bahkan semakin hari semakin memanas.
Kalau sebelum hari pemilihan saja kondisinya sudah sedemikian ricuh, pertanyaannya adalah bagaimana nanti setelah pilpres? Karena harus ada yang menang dan harus ada yang kalah. Dengan begitu banyaknya iblis yang menyamar sebagai elit politik, mafia, kaum berkepentingan, kaum fanatik, ngimpi kalo kita membayangkan bahwa kubu yang kalah akan bisa legowo menerima kekalahannya dengan kebesaran hati.
Sebenarnya masih banyak faktor lain kenapa pesta demokrasi tahun ini sangat ramai. Namun dua faktor tadi mungkin sudah cukup untuk menjawabnya. Karena masalah terbesarnya bukan terletak pada kenapa pesta demokrasi ini begitu ramai, namun apa bahaya yang mengancam didepan karena kedua faktor tadi. Untuk lebih jelasnya mungkin saya akan menulis di lain kesempatan tentang ancaman besar dibalik pilres tahun 2014 ini.
Salam damai dan sejahtera. Indonesia Raya, Nusantara Jaya!
Twitter: @arvianlizar
Selasa, 08 Juli 2014
Kebangsaan
Fenomena Copras Capres 2014: Penyebab dan Dampak Yang Mungkin Bisa Terjadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak...